OPINI SEPUTAR MUNCULNYA KELOMPOK MASYARAKAT MADANI YANG MEMILIKI SIFAT INTOLERAN

 

Cr. Pinterest.com

Setiap perbuatan pasti ada sebab dan akibatnya, pada minggu ini saya akan menuliskan sedikit opini saya mengenai jurnal yang pernah saya baca yaitu, jurnal Nurcholish  Madjid  Memorial  Lecture  VII, yang diketik dengan tajuk Sisi Gelap Demokrasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani yang Intoleransi. Menyatakan bahwa pada saat beliau menemukan kasus yang lebih banyak tentang pemuda yang  awalnya  aktif  terlibat  dalam  kampanye  anti-maksiat  kemudian  beralih ke  bentuk  yang  lebih  ekstrem,  yaitu  aksi-aksi  kekerasan.  Mereka  memulainya dengan  menggunakan  tongkat  dan  batu  atas  nama  menjaga  moralitas  umat serta  menjaga  Islam  dari  hal-hal  yang  diangap  menyimpang, namun belakangan  mereka  mencoba  menggunakan  bom.  Nah, padahal ini saja saya berpikir bahwa tindakan tersebut tidak patut untuk dilakukan karena dapat mengurangi rasa toleransi pada agama islam, dan bagi masyarakat non muslim yang ada disekitarpun akan menggiring opini bahwa islam mengajarkan hal tersebut. Padahal dalam islam sendiri sering diajarkan bahwa kita harus selalu toleransi terhadap siapapun dan tidak diajarkan agar kita bolehh menggunakan kekerasan dalam menyebarkan hal yang menyebarkan agama atau yang lain jika dalam keadaan terpaksa. Namun dalam keadaan terpaksa seperti apapun jika masih ada jalan untuk berdamai maka tidak dianjurkan untuk melakukan kekerasan sampai menyebabkan kerusakan dan memakan banyak korban karena hal tersebut.

Nah, setelah mengetahui persoalan diatas, selanjutnya, mari kita eksplorasi  berbagai  tantangan  bagi  Indonesia  yang datang  dari  masyarakat  madani  macam  ini.  Bagaimana  masyarakat demokratis  mengatasi  kelompok  yang  secara  fundamental  sangat  antidemokrasi?  Banyak  negara  demokrasi  di  Barat  mengandalkan  UU  antipenyebaran  kebencian  serta  meningkatkan  hukuman  untuk  kejahatan  yang dimotivasi  oleh  kebencian  atas  agama  serta  ras  tertentu,  sambil  mengakui bahwa  demokrasi  harus  menyediakan  ruang  bagi  organisasi  yang mempromosikan pandangan eksklusif. Di  Indonesia sendiri,  masalahh tersebut  jauh  lebih  kompleks, akan tetapi  solusinya  setidaknya harus  dimulai  dari  penolakan  kekerasan.  Pemimpin  di  tingkat  nasional  hingga lokal harus berkomitmen  menegakkan  hukum  terhadap  berbagai  aksi penghasutan,  vandalisme  serta  penyerangan.  Mereka  juga  perlu  memastikan bahwa  yang  berada  di  sekitarnya    para  menteri,  kepala  dinas,  penasihat  dan staf    juga  punya  komitmen  yang  sama. Tak  ada  gunanya  bagi Presiden  untuk meminta  warga agar menghormati keragaman ketika  beberapa  menterinya sendiri mengirim  pesan  yang  sebaliknya.

Pasti diantara kalian ada yang belum tahukan pengertian tentang masyarakat madani itu?

Masyarakat madani adalah Salah  satu  keindahan  dari  demokrasi  adalah  bahwa  ada  ruang  untuk kelompok  yang  kita  tidak  setujui,  bahkan  kelompok-kelompok  yang  kita anggap  menghina.  Ketika  saya  bekerja  di  Human  Rights  Watch  pada  1989, direkturnya  adalah  orang  Yahudi  yang  keluarganya  melarikan  diri  dari kejaran  Nazi  pada  tahun  1939.  Dia  sering  mengatakan,  salah  satu  momen yang  paling  membanggakannya  sebagai  aktivis  hak  asasi  manusia  adalah pada  tahun  1977,  ketika  dia  jadi  direktur  American  Civil  Liberties  Union (ACLU) dan  membela  hak  kelompok  neo-Nazi  untuk  melakukan  pawai  di sebuah  kota  bernama  Skokie, yang  penduduknya  mayoritas Yahudi, termasuk yang  pernah  ditahan  di  penjara  maut  Nazi.  Akibat  pembelaannya  itu,  30.000 anggota  ACLU  mengundurkan  diri  karena  tidak  setuju  dengan  keputusan tersebut.  Tapi  dalam  pandangan  direktur  tadi,  walaupun  pawai  itu  memang mengerikan,  tapi  hak  kebebasan  berekspresi  dan  berkumpul  tetap  lebih penting. Cerita  di  atas berbeda  jauh dengan  keadaan  di  Indonesia  sekarang.  Bukan  saja soal membela  hak  berekpresi atau  hak  berkumpul, tapi juga  penggunaan kekerasan.  Banyak  kelompok  seperti  GAPAS,  FUUI atau  FPI secara  rutin menggunakan kekerasan  dan  intimidasi  sebagai  taktik  advokasi.  Kegiatan mereka  menunjukkan bahwa sebagian  dari  masyarakat  madani  di  Indonesia saat ini tidak  membantu  mengkonsolidasikan  demokrasi, seperti diharapkan dari  kelompok-kelompok  seperti  itu,  tetapi  justru  secara  aktif memperlemahkan nilai-nilai  demokratis. Apa  yang  dimaksud  dengan  masyarakat  madani?  Definisi  mengenainya  telah berkembang  dari  waktu  ke  waktu.  Pada  1994,  ilmuwan  politik  Larry  Diamond mendefinisikan  masyarakat  madani sebagai warganegara  yang  bertindak secara  kolektif dengan  cara  yang  bersifat sukarela, otonom  dari negara  dan terikat  oleh  tatanan  hukum  atau  seperangkat  aturan  bersama. Mereka  bisa  mengambil  berbagai  bentuk,  termasuk  organisasi  komersial  seperti  kamar dagang,  kelompok  profesional,  kelompok  LSM,  kelompok  pendidikan,  dan  lain sebagainya.  Mereka  juga  dapat  mencakup  kelompok  agama  yang  bertujuan untuk  mempertahankan  identitas  kolektif  atau  mempertahankan  keyakinan mereka.

Kenapa sih penyebab intoleransi itu muncul pada masyarakat madani? Penyebab  Intoleransi Banyak  orang  melihat  bahwa  meningkatnya  intoleransi  berasal  dari peningkatan  kesalehan  dan  konservatisme  di  kalangan  masyarakat Indonesia.  Tapi  itu  mengabaikan  faktor-faktor lain  yang  mungkin  juga berpengaruh.  Di  Bekasi,  ada  yang  bilang  bahwa  tawuran  antara  kelompok Islam  dan  HKBP lebih berkaitan  dengan  persaingan  ekonomi  antara pendatang  dari  Batak  dan  orang  setempat.  Sama  seperti  di  Poso,  asal-usul konflik  pada  Desember  1998  lebih  berkaitan  dengan  perubahan  politik  dan ekonomi  daripada  agama.  Saya  juga  melihat  kampanye  sengaja  yang  sifatnya menyudutkan  minoritas.  Bagi  siapa  pun  yang  telah  tinggal  di  Indonesia  untuk waktu  yang lama,  peningkatan  retorika  anti-Syiah  secara  tiba-tiba  adalah sesuatu  yang  mengejutkan.  Walaupun  benar  bahwa  MUI  pada  tahun  1984 sudah  mengeluarkan  penyataan  yang  merekomendasikan  kewaspadaan terhadap  Syiah,  sebuah  refleksi dari kepedulian  pemerintah  Suharto  terhadap dampak politik  Revolusi  Iran,  hal  itu  tidak  disertai dengan  perlakuan  yang bersifat  diskriminatif,  apalagi  kekerasan, terhadap  kelompok  Syiah. Lalu, apakah solusi dari permasalahan intoleransi pada masyarakat madani itu?  Beberapa  negara demokratik  di  Eropa,  yang  dihadapkan  pada  masalah  kekerasan  antar-etnis dan  antar-agama,  telah  merespon  dengan  berbagai  tindakan,  baik  legal maupun sosial.  Salah  satu  yang  sering  diterapkan  adalah  undang-undang tentang  kejahatan  dan  ekspresi  kebencian  (“hate  crimes”  dan  “hate speech”).  Kalau  diterapkan  di  Indonesia,  apakah  akan  ada  gunanya?  Saya  tidak yakin. Dalam  demokrasi  Barat,  undang-undang  kejahatan  mulai  dari  kejahatan  biasa –  perusakan, pembakaran, penyerangan    dan  kemudian  menjatuhkan hukuman  tambahan  untuk  ekspresi  kebencian  rasis atau  agama  di baliknya.  Sebuah  kejahatan  yang  mungkin  dihukum  dengan  dua  tahun penjara,  misalnya,  bisa  dihukumi  dengan  empat  tahun, jika  jaksa  dapat membuktikan  bahwa kejahatan  itu  dipicu  oleh  kebencian. Ada sebuah  analogi  yang  mungkin  bisa  dipikirkan  lebih jauh  adalah  strategi “jendela  pecah”  yang  diterapkan  oleh  polisi  New  York  City  dalam  upaya menurunkan angka  kejahatan  di  sana.  Menurut  teori  ini,  jika  kejahatan  relatif kecil  ditangani secara  agresif,  kejahatan  yang  lebih  serius  bisa  dicegah. Jika untuk  kepentingan  mempromosikan  toleransi  dan  mengurangi  kejahatan main  hakim  sendiri, dalam  hal  ini  terhadap  kelompok  minoritas,  jaksa  dan hakim  diarahkan  untuk  menjatuhkan  hukuman  yang  maksimal, bukan minimum, terhadap  pelanggar,  maka  mungkin  dampaknya  bisa  kelihatan. Tapi  hukuman  yang  lebih  berat  tidak  akan  ada  artinya  jika  pemerintah  di tingkat  nasional  dan  lokal  selalu  menyerah  kepada  radikalisme agama.  Sungguh  luar  biasa,  bagi  saya  sebagai  orang  luar,  bahwa  pejabat  di pemerintah  dapat  mendukung  organisasi  seperti  FPI  tanpa  sanksi apa pun.  Bagaimana  pemerintah  bisa  mengatakan  kepada  Dewan  HAM  PBB bahwa  mereka  telah  “tanpa  lelah  mempromosikan  kerukunan  beragama  dan toleransi”  ketika  para  menteri  secara  terbuka  merangkul  vigilante  seperti FPI sebagai mitra?  Jauh  lebih  meyakinkan  sebagai komitmen  toleransi kalau  ada inpres atau  keppres yang  secara  resmi  melarang  pejabat  untuk  menghadiri acara  yang  diselenggarakan  oleh  kelompok-kelompok  yang  menyebarkan kebencian  agama  atau  yang  telah  dikaitkan  dengan  kekerasan  dengan  cara apa  pun.  Bagi  saya,  Menteri  Agama  RI  yang  membuka  perayaan  ulang  tahun FPI adalah  sama  saja  dengan  Gubernur  Florida  yang  menghadiri  acara  yang diselenggarakan  oleh  Terry  Jones. Demikian  juga,  ketika  polisi  di  tingkat  apa  pun  bekerjasama  dengan kelompok-kelompok  vigilante  pada  razia  anti-maksiat  atau  aksi  menyegel gereja-gereja  atau  masjid  Ahmadiyah,  tidak  ada  gunanya  memikirkan undang-undang  kerukunan  agama. Pesan  yang  terkirim  justru  sebaliknya: kegiatan  intoleransi  didukung  oleh  negara.  Kita  sekarang  punya  Kapolri  yang baru.  Alangkah  baik  kalau  beliau  mengumumkan  era  baru  dengan  secara tegas  melarang  semua  Polres  dan  Polsek  untuk  bekerja  bersama  ormas  apa pun  dalam  pelaksanaan  razia  terhadap  rumah  ibadah. 

Komentar